Pendakian Pikiran

Asal Bunyi
4 min readSep 19, 2023

--

You gotta get back out in the world, get back out on the road. I mean, the core of man’s spirit comes from new experiences.

03.12 AM
“Submit lusa, kira-kira ngerjainnya kapan ya?”, “Anak-anak gue di kantor pada lagi burnout ya?”, “Istri gue kayaknya lagi gak enak hatinya”, “Gue sayang bener sama anak gue”. “Kok gue kayaknya gak beres-beres sih mikirin hal itu mulu!”, “Capek bener mikir mulu kerjanya”, “Kok gue mikir mulu ya”, “Kayaknya mah udah gak peduli juga, kenapa gue masih peduli ya. Anjing!”, “Gajiaan 25, duit sisa sekian. Mantep juga.”, “Mobil kudu gue cuci nih.”, “Eh iya, tadi mikirin kerjaan. Visualnya berarti harus gue giniin nih.”, “Duh bentar-bentar, istirahat barang 10 menit boleh lah, kerja mulu.”, “Eh berarti baiknya warna visual ini harus gue ganti merah aja.”

03. 14 AM
“Eh, macet juga jalanan. Belum gerak-gerak ternyata.”

Rasanya dalam dua menit terlalu banyak percakapan yang muncul dalam kepala saya. Isi kepala saya terlalu sibuk bertikai. Sibuk berkilah, sibuk berlinang, siap mengalah. Rasa-rasanya saya juga sudah tak tahu sejak kapan isi kepala ini begitu berisik. Bahkan di waktu-waktu menuju ketenangan alam mimpi ia tak juga mereda. Justru semakin riuh. Bergema dari sisi ke sisi. Sudut ke sudut. Mengisi setiap ruang hampa yang tersisa.

Sebagai gambaran cerita, saya mungkin dianggap oleh kebanyakan teman-teman saya yang susah sekali untuk diajak nongkrong. Seringkalinya saya mangkir dari ajakan, bahkan di detik-detik terakhir. Minggu lalu, salah satu satu key player di kantor mengundurkan diri. Ia dan beberapa teman saya berkata begini:

Naik gunung, tanggal 15. Balik 17 malem. Ikut gk?

Dengan cepat dan sigap saya jawab: “GAS”. Karena entah kenapa, perasaan saya berkata saya tidak ingin mangkir dari ajakan kali ini. Saya merasa akan ada sesuatu yang menunggu saya nanti ketika pendakian. Ternyata, saya tak menyangka pengalaman pertama mendaki gunung ini bisa memberikan saya satu hal yang begitu menenangkan. Bukan apa-apa. Saya besar dan lahir di Papua. Hidup sedari kecil sudah dikelilingi alam.

Tapi perasaannya ketika mendaki gunung kemarin jauh berbeda rasanya. Saya tidak pernah merasa sedekat ini degan alam. Begitu liar, begitu abstrak, begitu terjal, begitu tenang. Alam tidak sunyi ya ternyata. Begitu banyak suara. air, serangga, ranting pohon, angin beriup. Tapi mereka tenang. Mereka tidak memekakkan telinga macam suara-suara di kota.

Singkatnya, kami menuju salah satu gunung pemula di daerah Jawa Barat. Kami memulai pendakian. Medan dan waktu kami taklukan dengan riang dan peluh. Sampailah kami di atas. Berkegiatan sebagaimana mestinya pendaki berkegiatan. Sampai tiba waktu malam. Angin dingin dan kencang seringkali menusuk tulang. Untung ada kayu bakar hangat di sini. Saat malam itu saya baru sadar, bahwa ternyata; suasana gelap, dingin, dan terang di langit membuat saya begitu tenang. Isi kepala tak lagi berteriak ke sana-ke mari. Semuanaya kosong. Blank space. Sangking herannya saya, kok tumben-tumbennya isi kepala ini tidak lari kemana-mana. Saya coba membuat pikiran saya lari ke sana ke mari, tapi pada akhirnya mereka kembali sunyi, kembali sepi. Tapi kali ini sepi yang membahagiakan. Sepi ya seringkali saya cari di sela-sela pikiran saya yang bergemuruh riuh.

Jadi ini rasanya, ketenangan pikiran.

Sudah lama tidak saya rasakan. Saya sempat menyampaikan apa yang saya rasa ini kepada salah satu teman mendaki saya kemarin. Ia manjawb begini; “Ada omongan diantara pendaki seperti ini Mo:

Kalau kita sedang naik gunung, tinggalkan semuanya di bawah. Tinggalkan semua permasalahan, perasaan, dan angan-angan. Semuanya, tinggalkan. Letakkan mereka di gerbang pendakian. dan ucapkan selamat tinggal, sampai kalian bisa kembali ke dalam dekapan.

Rasanya, begitu surreal. Saya senang dengan pendakian pertama saya. Sepertinya ini akan menjadi wishlist baru saya. Untuk bisa mendaki gunung-gunung lain. Saya senang akan hal ini ternyata. Sungguh. Begitu menyenangkan, begitu menenangkan.
Terimakasih.

--

--