Asal Bunyi
3 min readSep 8, 2023

#tulisandraftsampah1

Tulisan kali ini akan saya dedikasikan untuk diri saya sendiri. Rasanya saya sudah tidak pernah lagi berbicara ke dalam. Selalu mencoba bersuara ke luar. Mengharapkan balikan suara dari luar juga. Akan banyak kata “saya” dalam tulisan kali ini.

Saya kangen dengan diri saya yang dahulu, yang lebih banyak diam dan memperhatikan. Sekarang ini, saya lebih sering bersuara, berpendapat, dan berperasaan. Saya tidak suka saya versi yang ini. Semuanya serba dikonsiderasi, semuanya serba dirasa-rasa. Penyakit hati. Ujungnya? Sakit hati. Basi.

Tapi teringatnya, dahulu, saya sering melontarkan kata-kata seperti ini: “Seringnya kita gak sadar, tau-tau kita mendapati diri sendiri sudah menjadi orang yang berbeda”. Tapi, itu akan terasa lebih baik mungkin? Akan lebih legowo dalam menerima perubahan yang terjadi? Entahlah. Tapi buat saya kali ini, saya menyadari perubahan diri saya sedikit demi sedikit, dan menyadari perubahan dalam diri bukanlah hal yang menyenangkan, setidaknya bagi saya. Kau menolak perubahan itu. Perubahan ini bertentangan keras dengan paham yang kau pegang. Cara berkehidupan yang kau amini. Kau menyadari setiap hal kecil yang berubah, tapi kau tidak bisa apa-apa. Kau menyadari dirimu bukanlah dirimu lagi. Saya tahu, saya tahu. Manusia itu sudah pasti berubah seiring berjalannya waktu. Tapi, pernahkah kalian menolak perubahan? Coba ingat-ingat. Apakah rasanya menyenangkan? Tapi ya mungkin saya sadar. Perubahan memang tidak nyaman. Dirimu akan ditantang untuk menjelajahi ketidakpastian, dan tipe jelajah akan ketidakpastian yang paling tidak nyaman adalah: Jelajah diri sendiri. Kau akan kesal, karena yang kita bicarakan di sini adalah diri sendiri. Ini adalah dirimu sendiri dan kau tidak mengenalnya sama sekali? Seumur hidupmu, kalian bersama. Ketika diketemukan dengan situasi yang tidak kalian pahami, sudah pasti kalian akan menolak perubahan itu saya rasa.

Boleh dibilang, saya adalah orang yang lumayan keras kepala dengan yaaa…gengsi yang sedikit banyaknya tinggi. Bahkan terhadap diri saya sendiri. Saya selalu beranggapan bahwa diam dan memperhatikan sekitar adalah respon paling pas yang bisa diberikan. Kau tidak akan menyakiti siapapun dalam kondisi itu. Kau hanya akan berkutat dengan isi kepalamu melawan kejadian di depan matamu. Kau tidak perlu caper untuk mendapatkan atensi dari sekitar. Saya tidak membenci orang-orang yang mencari atensi dari sekitar kok, itu hak kalian. Jadi tenang. Saya tidak pernah suka menjadi pusat perhatian dan tidak pernah mencoba menarik perhatian. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini, perasaan ingin diperhatikan sangatlah menggebu-gebu. Saya menolak keras perasaan itu. Ujungnya? Saya kembali menjadi orang yang tempramen. Salah satu hal yang sangat saya hindari, akibat perkara masa kecil saya. Satu hal yang saya janjikan kepada diri saya sendiri dahulu kala, akhirnya lambat laun saya menjadi sosok orang yang sangat saya hindari.

Boleh dibilang, mungkin, kejadian saat itu adalah salah satu titik pengingat bagi saya, bahwa ini adalah titik perubahan terbesar dalam diri saya. Saya sudah cukup dewasa untuk menyadari kejadian ini, saya sudah cukup berilmu untuk menelaah kejadian ini, dan saya sudah cukup merasa untuk berani bermain rasa — Udah tau rasanya kan? Masih mau ngerasain lagi? Rasa tidak enak itu — Satu hal yang saya sadari adalah, pemicu perasaan tempramen saya bisa muncul apabila saya merasakan ada perubahan dalam diri saya yang bertentangan dengan kepala saya, dan saya menolak keras akan itu maka saya akan kesal. Salah satu hal yang saya pegang adalah: “yang bisa kita kontrol adalah diri sendiri, bukan orang lain atau keadaan di sekitar.” Mungkin, karena itu ketika saya tidak bisa mengontrol diri saya sendiri, saya merasa kesal. Satu-satunya paham yang paling mudah untuk diaplikasikanpun saya tidak becus. Sialan.